SIAGA-FM – Setahun lalu, tepat hari ini,. Tanggal 11 Mei 2024, menjadi malam yang begitu kelam bagi warga Tanah Datar, Padang Panjang, dan Kabupaten Agam. Hujan deras yang sejak sore mengguyur sebagian wilayah Sumatra Barat, ternyata melahirkan kisah yang begitu pahit.
“Sekitar pukul 21.45, saya ditelfon oleh ibu-ibu di Tanah Datar, “Bang, ustadz di tempat anak-anak mengaji barusan telfon, katanya suruh jemput anak-anak, karena air tiba-tiba besar dan ada tiang listrik yang roboh.... Di belakang rumah juga terdengar suara air besar. Bantu cek!” Suara di ujung telepon terputus-putus. Suara si ibu tersendat. Ada kepanikan dalam nada suaranya. Sementara hujan masih saja deras.
Setelah mendapat kabar tersebut, ponsel di tangan kembali berdering. “Pak, barusan info dari warga, di Lubuk Mata Kucing air sungai naik, sangat tinggi.” Suara seorang rekan pegiat radio komunikasi terengah-engah di seberang sana.
Apa yang terjadi? Sesuatu yang tak pernah disangka oleh warga Sumatra Barat selama ini ternyata menjadi kenyataan. Banjir lahar dingin Gunung Marapi telah terjadi. Air bah meluap dari sungai-sungai yang berhulu dari puncak Marapi. Membawa gelondongan kayu dan material vulkanik yang mengendap setelah berbulan-bulan menumpuk akibat erupsi besar Marapi awal Desember 2023.
Semua panik. Warga, petugas kebencanaan, organisasi radio komunikasi dua arah, sibuk dengan aktivitas masing-masing mencari dan memastikan kejadian tersebut sunggug nyata. Sementara di tempat-tempat yang langsung terdampak banjir lahar dingin itu, warga telah bergelimpangan. Ada yang hanyut terbawa arus air yang begitu besar, ada yang terjebak dalam rumah yang tiba-tiba saja hanyut ke hilir.
Puluhan korban menninggal dunia akibat kejadian itu. Harta benda warga pun ikut hancur tak bersisa dilumat banjir lahar dingin Marapi. Semua terjadi secara tiba-tiba. Ketika malam yang begitu sunyi menjadi hiruk-pikuk dengan upaya penyelamatan.
Sungguh, bencana tersebut belum pernah terbayangkan oleh warga di kaki Marapi. Selama ini, warga Sumbar sering melihat tayangan di televisi tentang banjir lahar dingin dari Gunung Merapi di Jawa Tengah, pun dari Gung Semeru di Jawa Timur. Tapi kini, banjir lahar dingin itu terjadi di Sumatra Barat. Tiga daerah menjadi sasaran hempasan besarnya gulungan material vulkanik dan batu-batu sebesar truk yang menggelinding bersama arus air dari puncak Marapi.
Menurut data ketika itu, sekitar 67 jiwa meninggal dunia. Korban luka dan
dapat selamat dari peristiwa mengerikan itu pun kian bertambah menjadi puluhan
dari data yang belum terverifikasi. Mungkin saja ratusan, karena sibuknya
petugas pendataan, dipastikan tidak akan mendapatkan data pasti terkait korban
yang sebenarnya. Jumlah keluarga terdampak pun mencapai angka di atas seribu,
sementara korban yang dinyatakan hilang hingga masa pencarian berakhir pun
masih simpang-siur.
Pencarian korban, proses evakuasi ke tempat-tempat aman, dan upaya untuk menjaga para pengungsi serta warga yang terisolasi, terus dilakukan. Bantuan dari berbagai pihak mengalir deras. Posko-posko bantuan pun menjamur di berbagai daerah.
Berbulan-bulan, waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jalan nasional dari Padang menuju Padang Panjang, tepatnya di wilayah Kecamatan X Koto Tanah Datar, terputus dan diperbaiki selama dua bulan lebih. Di daerah Bukik Batabuah, jalanan dibebaskan dari gelondongan kayu dan batu-batu sebesar mobil. Di Lima Kaum dan Rambatan, jembatan kembali diperbaiki.
Sungguh, bencana banjir lahar dingin Marapi setahun lalu itu begitu menyesakkan dada masing-masing warga. Bukan hanya persoalan kematian dan kehilangan keluarga dan harta benda, tapi bencana itu juga mengubah keadaan. Ekonomi Padang Panjang dan Tanah Datar pun terganggu serius.
Kini, tepat satu tahun bencana itu terjadi. Bukan untuk kembali mengingatkan betapa pedihnya hati ketika keluarga korban menangis karena kehilangan, tapi ini adalah pelajaran berharga yang harus dibayar mahal oleh kita semua. Sekolah alam kadang memang membutuhkan biaya tak sedikit, bahkan kadang nyawa manusia pun harus turut membayarnya.
Apa yang harus kita jadikan pelajaran? Semua elemen, bukan hanya pemerintah, tetap juga untuk semua warga yang ada di daerah ini, perlu menyikapi bahwa bencana dapat datang tanpa menunggu kesiapan manusia. Bencana bisa saja tiba-tiba menghampiri, tanpa pesan sebelumnya.
Terkait banjir lahar dingin Marapi, hingga kini pun kita tidak boleh lengah. Satu juta meter kubik endapan material vulkanik Marapi masih siap untuk meluluhlantakkan wilayah yang ada di kakinya. Ketika hujan deras di puncak gunung dengan ketinggian 2.891 MDPL itu terjadi, kemungkinan akan terulang peristiwa serupa masih tetap ada. Lengah sedikit saja, bencana akan berulang, dan kembali merenggut korban yang tidak sedikit.
“Sabo Dam telah dipersiapkan dan dibangun. Jangan takut-takuti masyarakat dengan bencana serupa.” Demikian ujar seorang warga ketika diwawancara terkait kesiapsiagaan warga. Kalimat yang penuh keyakinan itu bukanlah perilaku bijak. Karena bencana bisa saja terjadi saat semua persiapan dan antisipasi sempurna menurut aal pikiran manusia.
Di satu tahun kejadian ini, akan lebih bijak kiranya semua kita tetap waspada. Kewaspadaan itu sendiri, bukan hanya dengan mendengar dan menyaksikan dengan mata kepala, tetapi juga dengan upaya yang terus menerus, dengan kesiapsiagaan yang terencana, terukur, dan dimiliki oleh setiap nyawa di kaki Marapi. (*)
Penulis: Nova Indra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar