SIAGA-FM – "Mungkin ada sekitar beberapa menit kami terjebak dalam rumah, dan setelah gempa berhenti baru bisa keluar lewat celah tembok," ujar Widia Astuti (39) warga terdampak gempa Bengkulu berkekuatan 6,3 magnitudo warga RT 50 RW 07 Kelurahan Betungan, Kecamatan Selebar Kota Bengkulu, terjebak gempa bumi, Jumat dini hari (23/5/2025).
Widia Astuti menceritakan bagaimana ia dan suami serta anaknya berupaya untuk keluar dari rumah saat gempa berlangsung. Bermula saat ia, suaminya Merianto (38) dan putri mereka Rizka Natasya (10) sedang tertidur lelap. Sekitar pukul 02.57 WIB, mereka terbangun oleh guncangan gempa yang cukup kuat. Ketiganya segera berlari keluar dari kamar dan berusaha menuju pintu keluar rumah.
Namun, saat mencoba membuka pintu, mereka mendapati pintu rumah tidak bisa dibuka, sehingga mereka pun terjebak di dalam rumah. "Jadi pas kami buka pintu, kuncinya nggak bisa kebuka. Jadi baru selesai gempa, baru kami bisa keluar," ungkap Widia saat diwawancarai salah satu media, Jumat siang.
Saat itu, Widia melihat anaknya sempat terkena reruntuhan tembok. Ia langsung memeluk anaknya erat-erat untuk melindunginya dari puing-puing yang berjatuhan. Akibat aksinya tersebut, bagian belakang tubuh dan kaki Widia terkena reruntuhan bangunan rumah.
Kisah survival dari sebuah keluarga saat gempa berkekuatan M6.3 di Bengkulu, Jumat (23/5/2025) dinihari itu, menjadi sesuatu yang patut kita semua jadikan pelajaran. Belajar dari keadaan Widia dan keluarganya saat gempa terjadi, diperlukan pemahaman yang mendalam bagi warga di daerah-daerah rentan gempa bumi.
Seperti dataran tinggi di Sumatra Barat, yang memiliki lima sesar dari Patahan Semangko, ada segmen Sumani, Suliti, Sianok, Angkola dan Barumun. Semua warga yang berada di sekitar sesar tersebut perlu mendapatkan edukasi yang tepat dalam upaya menyelamatkan diri dari gempa bumi.
Seperti jamak kita pahami dari media-media yang membahas tentang upaya survival dari bencana gempa bumi, rencana evakuasi pada setiap rumah tangga sangat diperlukan. Mengetahui jalur yang tepat untuk keluar dari bangunan, adalah salah satu yang dipahami mendetil oleh setiap anggota keluarga.
Selain itu, setiap keluarga perlu menyiapkan tas siaga (emergency go bag). Tas Siaga merupakan salah satu komponen penting dalam kesiapsiagaan bencana di tingkat keluarga. Tas ini berisi perlengkapan esensial yang diperlukan untuk bertahan dalam keadaan darurat, terutama dalam 72 jam pertama setelah bencana terjadi.
Dua hal di atas sebagai dasar-dasar pengetahuan dan kesiapan keluarga menghadapi bencana gempa bumi, menjadi sangat penting diajarkan kepada masyarakat di segmen-segmen aktif. Keadaan yang diawali dengan kepanikan tersebut, perlu diikuti dengan kesiapsiagaan terhadap apa yang akan dilalui di beberapa waktu ke depan pasca bencana.
Sepekan lalu, berbincang dengan Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Padang Panjang, Dr. Suaidi Ahadi, ST., MT., persoalan-persoalan edukasi warga mengemuka sebagai langkah antisipasi bagi warga dalam menyiapkan diri menghadapi kemungkinan datangnya bencana gempa bumi.
Menurut Dr. Suaidi, perlunya membentuk kelompok masyarakat siaga gempa di segmen-segmen aktif, sangat diperlukan. Dengan adanya kelompok masyarakat siaga gempa tersebut, diharapkan terbangunnya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya langkah-langkah antisipasi dini di tengah-tengah masyarakat.
Tumbuhnya kelompok-kelompok masyarakat siaga gempa pada masing-masing segmen atau sesar aktif, tentunya akan menjadi wadah bagi masyarakat secara luas. Program-program simulasi di tingkat warga pun dapat diupayakan melalui kelompok yang ada.
Selain itu, edukasi warga terkait keberadaannya di daerah-daerah yang rawan bencana gempa bumi, akan dapat dilakukan secara mandiri dan berkala. Dan pada gilirannya, terbentuknya masyarakat yang siap siaga akan mudah tercipta.(*)
Penulis: Nova Indra (Journalist, Writer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar