SIAGA-FM – “Hanya jiwa yang miskin yang tidak peduli pada kondisi alam, bencana, dan segala kemungkinan terburuk bagi kehidupan manusia di atas hamparan bumi ini.”
Ungkapan itu, sekiranya layak diapungkan di tengah-tengah
menjamurnya bencana di hampir seluruh daerah di tanah air. Banjir, longsor,
gempa bumi, pergerakan tanah, hingga erupsi gunung api, terus memakan sejumlah
korban. Jiwa melayang, harta benda ludes tak bersisa, menjadi cerita keseharian
di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Siapa yang peduli? BNPB dengan segala beban dan
tanggungjawabnya, BMKG dengan kesiapan prakiraan para ilmuannya, SAR dengan
semua amanah operasi kemanusiaan. Semua elemen kebencanaan di daerah pun
menjalankan tugas dengan segenap kemampuan.
Lalu apa itu jiwa jiwa yang miskin di tengah kerentanan
daerah dan potensi bencana yang terus mengintai? Mereka adalah kita! Kita yang
terus berpangku tangan dan hanya tersenyum ketika menyaksikan alam berkecamuk
dengan semua amarahnya. Kita, yang setiap waktu masih bisa tertawa riang saat
berada di lempeng bumi yang terus bertumbukan. Kita, yang sumringah melihat
gunung api terus melontarkan abu vulkanik, menontonnya dengan suka cita.
Jiwa-jiwa yang miskin di tengah kerentanan dan potensi
bencana, mungkin adalah kita yang sedang membaca! Kita yang merasa setiap
ajakan untuk mawas diri, kita yang setiap waktu disuguhi berita-berita bencana
yang telah merenggut kenyamanan hidup saudara-saudara sebangsa.
Kapan lagi kita berbuat? Seorang kenalan di sebuah
organisasi menjawab, “Tidak perlu terlalu bersemangat untuk urusan seperti ini,
karena sudah ada para petugas yang digaji oleh negara untuk menjalankan
tanggungjawab.”
Ungkapan miris dari seorang kenalan itu menggambarkan
betapa miskinnya jiwa jiwa kita. Andai saja, ketika bencana itu datang
menghampiri, di tengah lelapnya tidur yang melenakan, dan kita tidak dapat
menyelamatkan orang-orang yang kita cintai dan sayangi, kepada siapa kata ‘salah’
akan kita alamatkan? Kepada petugas? Kepada Tuhan? Atau kita akan mengumpat
diri yang selama ini tidak pernah peduli?
Sekolah, madrasah, organisasi, lembaga, pasar, dan semua
tempat yang sehari-hari dihuni dan didiami oleh banyak orang, dan kita adalah
bagian di dalamnya, suatu ketika akan menjadi sasaran empuk peringatan dan
teguran Tuhan berupa bencana. Sudahkah kita siap? Alih-alih peduli, mungkin
yang terjadi adalah keluarnya umpatan saat terlambatnya mereka yang kita cap
sebagai petugas yang digaji oleh negara.
Kita bisa saksikan, masih ada mereka yang mengemban
amanah di lini-lini tertentu, entah karena lupa atau memang sengaja hnya
sekadar mencomot salah satu jabatan untuk dilekatkan ke diri sendiri. Lalu diam
tanpa gerak, menyebut bahwa kita adalah bagian dari orang-orang yang tahu dan
cerdas urusan mitigasi, paham akan informasi, ternyata tidak menggunakannya
sebagai jalan pengabdian untuk kemanusiaan, akan ada saatnya kita hadapi
situasi entah menjadi korban atau kehilangan mereka yang kita sayangi ketika
bencana itu datang tanpa henti.
Jiwa yang miskin dari kepedulian, tidak datang dari
mereka yang kurang paham saja, kita yang merasa pintar dan memiliki amanah yang
diemban pun kadang melupakan hal itu. Jiwa yang kita kira kaya dengan
informasi, jabatan melekat pula di diri ini, tetapi terus saja melenggang
dengan nyaman dan senyum sumringah sepanjang hari, suatu ketika akan dilumat
oleh alam, menjatuhkan kesombongan yang kita kira akan melindungi.
Tetaplah berada dalam koridor yang sesuai dengan ketetapan
Ilahi. Hidup yang sementara ini, sebagian waktunya kita sisihkan untuk sebuah
kepedulian, sebuah pengabdian pada nilai-nilai kemanusiaan. Bukan hanya
mengambil jabatan di organisasi, di lembaga-lembaga dan ruang-ruang mewah yang
bisa saja tiba-tiba hancur seketika karena alam menunjukkan angkaranya pada
manusia-manusia yang jiwanya miskin. (*)
Penulis: Nova Indra (Anggota RAPI – JZ03AQP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar