SIAGA-FM – Siapa yang tidak takut ketika bencana datang menimpa? Dilanda bencana yang selalu mengintai, adalah situasi tak menguntungkan bagi setiap orang. Tidak ada yang gembira ketika bencana semakin dekat dan bersisian dengan kita.
Namun, pada kenyataannya, di wilayah Indonesia, tempa
kita menginjakkan kaki saat ini, adalah etalase bencana dengan segala potensi.
Mulai dari keberadaan negeri ini pada cincin api (ring of fire), yang ditandai dengan jumlah gunung berapi dengan
jumlah banyak, hingga patahan lempeng bumi yang terus bergerak aktif.
Menurut data Tim Pusat Studi Gempa Nasional (2017),
Indonesia memiliki lima zona lempeng aktif, yaitu Sumatran Megathrust, Java
Megathrust, Banda Megathrust, Northern Sulawesi Thrust, dan Philippine Thrust.
Di dalam kelima zona tersebut, terdapat 16 segmen aktif yang berpotensi memicu gempa
besar dan menyebabkan tsunami.
Kita ketahui bersama, megathrust adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan gempa bumi yang terjadi di sepanjang batas
subduksi, di mana satu lempeng tektonik bergerak ke bawah lempeng lainnya.
Gempa megathrust biasanya memiliki magnitudo yang sangat besar.
Gempa megathrust adalah jenis gempa bumi dengan magnitudo
di atas 8,0, yang kemungkinan besar terjadi di wilayah yang terletak di
sepanjang patahan besar, serta area di mana lempeng-lempeng tektonik bertemu satu
sama lain.
Khusus di Sumatra Barat, ancaman gempa dari megatrhust
Mentawai-Siberut, adalah ancaman yang tidak saja sangat besar, tapi dampaknya
juga luar biasa bagi tatanan kehidupan masyarakat Sumbar terutama di wilayah
pesisir.
Sementara itu, pada dataran tinggi yang ada di Sumatra,
termasuk Sumatra Barat dalam hal ini beberapa kota dan kabupaten (Padang
Panjang, Solok, Kabupaten Solok, Agam, Tanah Datar dan Bukittinggi), memiliki
kerentanan terhadap Patahan Besar Sumatra (Patahan Semangko) yang membelah
pulau dari Lampung hingga Aceh sepanjang 1900 kilometer. Patahan ini, melewati
daerah-daerah tersebut dengan kehadiran lima segmen aktif (Barumun, Angkola,
Suliti, Sianok, dan Sumani).
Lengkapnya potensi kebencanaan di Sumatra Barat,
disempurnakan dengan adanya Gunung Berapi aktif seperti Talang dan Marapi.
Erupsi periodik gunung-gunung tersebut, menimbulkan ancaman yang tidak sedikit
pada kehidupan masyarakat sekitarnya.
Mencermati kondisi tersebut, khusus untuk daerah-daerah
yang berada pada dataran tinggi di Sumatra Barat, upaya mitigasi adalah satu-satunya
langkah yg dapat dilakukan. Karena tisak satupun manusia diberi kekuatan dan
kemampuan menahan dan mementahkan pergerakan alam.
Di sektor pendidikan, langkah mitigasi dapat dilakukan
dengan meneruskan amanah perundangan dan peraturan yang ada. Peraturan Kepala
BNPB No 4 tahun 2012 tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana dan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 33 tahun 2019 tentang
Satuan Pendidikan Aman Bencana, adalah dua aturan yang perlu dijadikan rujukan.
Satuan pendidikan aman bencana (SPAB), bukan berarti
mengubah tatanan pendidikan atau menambah tugas para penyelenggara pendidikan
itu sendiri, tetapi pada dasarnya adalah memperkuat posisi penyelenggara
pendidikan dalam rangka melindungi warga pendidikan yang bernaung di
kesehariannya di gedung-gedung bernama sekolah atau madrasah.
Membangun kesadaran ini adalah suatu keniscayaan. Bencana
dapat menimpa ketika seorang pendidik sedang berada di depan kelas, atau ketika
sedang bercengkerama di ruang-ruang guru. Dan pastinya, siswa dan warga sekolah
lainnya, adalah tanggungjawab penyelenggara pendidikan selama berada di jam
belajar.
Kesadaran tentang hal ini, tentunya tidak serta merta
hadir. Tidak ujug-ujug timbul dari
dalam diri. Perlu upaya penyadaran dan ajakan dari pihak-pihak lain atau
pemangku kepentingan selaras.
Dan bagi pemangku kepentingan di leading sector pendidikan, kiranya hal ini menjadi perhatian penuh.
Karena daerah ini berada di ruang bencana yang dapat saja datang saat kita
lengah dan merasa tidak membutuhkan mitigasi.
Berhenti merasa superior dengan mengedepankan doa sebagai
alasan untuk tidak berbuat membangun resiliensi warga pendidikan, adalah
langkah pertama yang perlu dilakukan dalam diri masing-masing pemangku
kepentingan. Tidak ada doa yang diijabah sebelum upaya maksimal dilakukan untuk
tujuan kebaikan. Faiza ‘azamta,
fatawakkal ‘alallah. (*)
Penulis: Nova Indra – JZ03AQP
(Direktur P3SDM Melati – Pimp. Sekolah Indonesia Menulis – Journalist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar