Mitigasi Bencana, Tidak Diawali dengan Doa (Sebuah Otokritik) - Siaga | Cerdas & Informatif

Breaking

Post Top Ad


Post Top Ad


Selasa, 17 Juni 2025

Mitigasi Bencana, Tidak Diawali dengan Doa (Sebuah Otokritik)


SIAGA
-FM
– Siapa yang tidak takut ketika bencana datang menimpa? Dilanda bencana yang selalu mengintai, adalah situasi tak menguntungkan bagi setiap orang. Tidak ada yang gembira ketika bencana semakin dekat dan bersisian dengan kita.

 

Namun, pada kenyataannya, di wilayah Indonesia, tempa kita menginjakkan kaki saat ini, adalah etalase bencana dengan segala potensi. Mulai dari keberadaan negeri ini pada cincin api (ring of fire), yang ditandai dengan jumlah gunung berapi dengan jumlah banyak, hingga patahan lempeng bumi yang terus bergerak aktif.

 

Menurut data Tim Pusat Studi Gempa Nasional (2017), Indonesia memiliki lima zona lempeng aktif, yaitu Sumatran Megathrust, Java Megathrust, Banda Megathrust, Northern Sulawesi Thrust, dan Philippine Thrust. Di dalam kelima zona tersebut, terdapat 16 segmen aktif yang berpotensi memicu gempa besar dan menyebabkan tsunami. 

 

Kita ketahui bersama, megathrust adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gempa bumi yang terjadi di sepanjang batas subduksi, di mana satu lempeng tektonik bergerak ke bawah lempeng lainnya. Gempa megathrust biasanya memiliki magnitudo yang sangat besar.

 

Gempa megathrust adalah jenis gempa bumi dengan magnitudo di atas 8,0, yang kemungkinan besar terjadi di wilayah yang terletak di sepanjang patahan besar, serta area di mana lempeng-lempeng tektonik bertemu satu sama lain.

 

Khusus di Sumatra Barat, ancaman gempa dari megatrhust Mentawai-Siberut, adalah ancaman yang tidak saja sangat besar, tapi dampaknya juga luar biasa bagi tatanan kehidupan masyarakat Sumbar terutama di wilayah pesisir.

 

Sementara itu, pada dataran tinggi yang ada di Sumatra, termasuk Sumatra Barat dalam hal ini beberapa kota dan kabupaten (Padang Panjang, Solok, Kabupaten Solok, Agam, Tanah Datar dan Bukittinggi), memiliki kerentanan terhadap Patahan Besar Sumatra (Patahan Semangko) yang membelah pulau dari Lampung hingga Aceh sepanjang 1900 kilometer. Patahan ini, melewati daerah-daerah tersebut dengan kehadiran lima segmen aktif (Barumun, Angkola, Suliti, Sianok, dan Sumani).

 

Lengkapnya potensi kebencanaan di Sumatra Barat, disempurnakan dengan adanya Gunung Berapi aktif seperti Talang dan Marapi. Erupsi periodik gunung-gunung tersebut, menimbulkan ancaman yang tidak sedikit pada kehidupan masyarakat sekitarnya.

 

Mencermati kondisi tersebut, khusus untuk daerah-daerah yang berada pada dataran tinggi di Sumatra Barat, upaya mitigasi adalah satu-satunya langkah yg dapat dilakukan. Karena tisak satupun manusia diberi kekuatan dan kemampuan menahan dan mementahkan pergerakan alam.

 

Di sektor pendidikan, langkah mitigasi dapat dilakukan dengan meneruskan amanah perundangan dan peraturan yang ada. Peraturan Kepala BNPB No 4 tahun 2012 tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 33 tahun 2019 tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana, adalah dua aturan yang perlu dijadikan rujukan.

 

Satuan pendidikan aman bencana (SPAB), bukan berarti mengubah tatanan pendidikan atau menambah tugas para penyelenggara pendidikan itu sendiri, tetapi pada dasarnya adalah memperkuat posisi penyelenggara pendidikan dalam rangka melindungi warga pendidikan yang bernaung di kesehariannya di gedung-gedung bernama sekolah atau madrasah.

 

Membangun kesadaran ini adalah suatu keniscayaan. Bencana dapat menimpa ketika seorang pendidik sedang berada di depan kelas, atau ketika sedang bercengkerama di ruang-ruang guru. Dan pastinya, siswa dan warga sekolah lainnya, adalah tanggungjawab penyelenggara pendidikan selama berada di jam belajar.

 

Kesadaran tentang hal ini, tentunya tidak serta merta hadir. Tidak ujug-ujug timbul dari dalam diri. Perlu upaya penyadaran dan ajakan dari pihak-pihak lain atau pemangku kepentingan selaras.

 

Dan bagi pemangku kepentingan di leading sector pendidikan, kiranya hal ini menjadi perhatian penuh. Karena daerah ini berada di ruang bencana yang dapat saja datang saat kita lengah dan merasa tidak membutuhkan mitigasi.

 

Berhenti merasa superior dengan mengedepankan doa sebagai alasan untuk tidak berbuat membangun resiliensi warga pendidikan, adalah langkah pertama yang perlu dilakukan dalam diri masing-masing pemangku kepentingan. Tidak ada doa yang diijabah sebelum upaya maksimal dilakukan untuk tujuan kebaikan. Faiza ‘azamta, fatawakkal ‘alallah. (*)

Penulis: Nova Indra – JZ03AQP (Direktur P3SDM Melati – Pimp. Sekolah Indonesia Menulis – Journalist)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad